Wednesday, July 6, 2011

Pemilik Rekening Liar Kemkes di Bawah Menteri

Anggota Badan Pengawas Keuangan Rizal Djalil mengatakan pemilik 21 rekening liar senilai Rp503 miliar di kementerian kesehatan berada di level bawah menteri. "Tidak ada (setingkat menteri), level di bawahnya," katanya saat ditanya wartawan terkait pemilik rekening liar tersebut di Jakarta, Rabu. Ia menambahkan, 21 rekening liar tersebut atas nama perseorangan dan juga institusi. Sementara itu, pihaknya mengendus kemungkinan korupsi di Kementerian Kesehatan atas laporan keuangannya 2009 yang dinilai disclaimer.

"Saya bilang tadi, sebagai auditor tentunya kita paham lah kalau sudah begini, cuman saya tidak bisa mengatakan pasti ada seperti itu (korupsi) tidak bisa, tapi bau-baunya sudah ada lah," katanya di Jakarta, Rabu ketika ditanya wartawan terkait indikasi korupsi dalam Kementerian Kesehatan. Ia mengatakan, saat ini, pihaknya tengah mengadakan audit investigasi (pemeriksaan dengan tujuan tertentu) yang diperkirakan selesai pada Oktober 2010. Ia menambahkan, pihaknya juga siap untuk bergandengan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. "BPK minta dan tak menutup kemungkinan untuk kerjasama dengan KPK," katanya.

Seperti diberitakan, dalam audit laporan keuangan negara 2009 Kementerian Keuangan, BPK menilai disclaimer. Hal ini karena didasarkan kepada sejumlah temuan yang tidak taat hukum dan terdapat banyak kejanggalan yang ditemukan BPK. Seperti terdapat saldo dana untuk bantuan sosial sebesar Rp479 miliar yang tersimpan di Kantor Pos per 31 Desember 2009. Padahal dana tersebut seharusnya telah dipergunakan sesuai dengan program atau dikembalikan ke bendahara negara.

"Ini harusnya sudah dicairkan dalam bentuk program, tidak boleh disimpan karena menimbulkan pertanyaan bagaimana bunganya, siapa penanggungjawabnya. UU tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa tahun anggaran meliputi satu tahun sejak 1 Januari hingga 31 Desember. Itu melanggar UU," katanya. Dana bansos itu antara lain untuk Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebesar Rp23,8 miliar, dana Program Pengembangan Desa Siaga Rp51 miliar, operasional Posyandu Rp67,9 miliar, dan pelatihan bidan desa Rp16,7 miliar.

Selain itu, BPK juga menemukan adanya 21 rekening liar senilai Rp503 miliar dalam bentuk dolar AS dan rupiah. Rekening liar tersebut tercatat atas nama institusi dan perorangan. Disisi lain, BPK juga menemukan adanya aset-aset milik Kementerian Kesehatan yang disalahgunakan. Seperti tanah Rumah Sakit Jiwa Dr Marzuki Mahdi di Bogor dipakai untuk lapangan golf dengan status tidak jelas sampai saat ini. "Sekarang sedang dalam proses hukum," katanya.

Kemudian, tanah Pusdiknakes BPPK Cilandak, tanah dan bangunan di Jalan Kimia Jakarta, tanah di Teuku Cik Ditiro, Menteng Jakarta Pusat, no 3, 5 dan 7 yang dimanfaatkan pihak lain tanpa ada perjanjian yang jelas. Begitu pula ketidak jelasan aset tanah di Diponegoro seluas 7000 meter persegi, tanah Kementerian Kesehatan di Makasar Rp41miliar, tanah Poltekese seluas 10.500 meter persegi di Jalan Mojo no 33 Denpasar 10.500m2.

Selain itu tanah dan rumah dinas di Babakan Cianjur, Gunung Batu, Bandung yang digunakan pihak lain. Tanah Kementerian Kesehatan di Jalan Prof Usman no 40, tanah dan bangunan di eks Kampus Kebidanan di Bandung, tanah di RS Fatmawati, Jakarta, yang statusnya sengketa, tanah di Jalan Hang Jebat Tiga, Kebayoran Baru, Jakarta. Tanah di Jalan Percetakan Negara 2 Jakarta Pusat dan tanah di Jalan Percetakan Negara no 1 juga belum jelas. "Kita ingin `eksplore` (mengungkap) persoalan aset yang cukup besar, nilainya lebih besar," katanya.
BPK juga menemukan kejanggalan dalam pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan. "Pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan memang sangat buruk, kontraktornya hanya ke itu, itu, Indofarma, Kimia Farma. Pihak BUMN itu biasanya juga mengkontrakan lagi ke pihak lain dan dikontrakan lagi sehingga menimbulkan biaya yang jauh dari normal naik rata-rata 20 persen," katanya.
BPK juga menemukan adanya tunggakan bayaran yang hingga kini tidak dibayar oleh rekanan Kementerian Kesehatan puls denda senilai Rp34,7 miliar. "PT Pembangunan Perumahan Rp6,4 miliar, PT Kimia Farma Rp5,8 miliar, Rajawali Rp19,7 miliar, PT Indofarma Global Medika Rp2 miliar," katanya.

www.seputar-indonesia.com

Terdakwa Mengaku Direstui Wali Kota

Terdakwa perkara pungutan liar di Pasar Pa’baeng-baeng, Djamaluddin Yunus, mengaku mendapat restu Wali Kota Ilham Arief Sirajuddin dan Sekretaris Kota Anis Kama untuk menarik dana dari pedagang.

Djamaluddin yang juga Direktur PD Pasar Raya Makassar mengaku, sebelum menerbitkan surat keputusan (SK) pungutan PD Pasar bagi pedagang,pihaknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan Wali Kota dan Ketua Badan Pengawas PD Pasar. Hal itu diungkapkan Djamaluddin dalam sidang lanjutan perkara yang merugikan negara Rp862 juta di Pengadilan Negeri (PN) Makassar,kemarin.
“Saya berkonsultasi dengan Wali Kota dan Ketua Badan PengawasPDPasar, yakniSekretaris Kota Makassar sebelum menerbitkan SK.Keduanya pun menyetujui pungutan itu,”ungkap di depan majelis hakim yang dipimpin AndiMakkasau,kemarin. Terdakwa yang mengenakan kemeja putih lengan panjang itu menegaskan, keberadaan SK tersebut menjadikan pungutan itu sifatnya legal dan sah secara hukum.
SK itu dikeluarkan PD Pasar yang ditandatangani langsung terdakwa. Hanya, Djamaluddin tidak mampumemberikanpenjelasan alasan yuridis penerbitan SK oleh PD Pasar. Apalagi SK pungutan dengan kontrak los selama 20 tahun melanggar Perda Kota Makassar tentang Pasar Raya Makassar Pasal 9 ayat 3.

“Ini jelas melanggar Perda Pasar. Dalam perda jelas pungutan hanya bersifat harian, bulanan, dan tahunan selanjutnya dapat diperpanjang kembali, bukan pungutan dalam durasi 20 tahun,”ujar Makkasau. Terdakwa yang didampingi penasihat hukumnya, Muriadi Muchtar,akhirnya mengakui PD Pasar mendapatkan target yang cukup tinggi sebagai penyumbang anggaran ke kas Pemkot.
Tingginya targetdariPemkotMakassar menjadikan PD Pasar Raya Makasar harus kreatif mencari pendapatan untuk mencukupi target itu.“Untuk 2010, PDPasarRaya Makassar ditarget memasukkan anggaran ke kas daerah Rp5 miliar,”paparnya.

Cara Pejabat Korupsi lewat Buku

Seorang pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tersandung kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) melalui proses pengadaan modul/buku keterampilan fungsional dan kepribadian profesional paket B pada tahun 2007.

Subdirektorat Tipikor Ditreskrimsus menilai kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 747.718.319,-. Pejabat berinisial TS yang menjabat sebagai Kasubdit di Direktorat Pendidikan Kesejahteraan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah/Pendidikan Non Formal dan Informal Kemendiknas itu kini ditetapkan sebagai tersangka.

Dua tersangka lainnya yakni UTM dan HLS. "TS bersama dua tersangka lain, UTM dan HLS diduga melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan proses lelang percetakan modul buku ketrampilan fungsional dan kepribadian profesional paket B tahun 2007," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Baharudin Djafar di Jakarta, Rabu (6/7/2011), di Polda Metro Jaya.

TS yang merupakan ketua panitia lelang diduga tidak melaksanakan seluruh tahapan dalam proses pelelangan sebagaimana diatur dalam Keppres No 80 tahun 2003. "Dia diduga hanya menjalankan tahapan pembukaan pendaftaran peserta lelang dan proses aanwijzing," tambahnya.

Selain, TS, petugas juga mengamankan UTM sebagai pemenang lelang. Pemilihan UTM ini dinilai ganjil karena dia tidak memiliki keahlian di bidang percetakan buku atau modul karena UTM hanya meminjam bendera PT. CCA dan sebagai kuasa direksi yakni PT. TBS. UTM juga tidak mencetak buku sendiri secara langsung sesuai dengan yang dipersyaratkan namun mensubkontrakkan lagi dengan pihak ketiga.

Jaminan garansi bank yang digunakan oleh UTM juga diduga palsu. Dugaan rekayasa proses pelelangan dan mark up yang dilakukan TS, tidak hanya melibatkan UTM, tapi juga seorang broker berinisial HLS.
"TS diduga menerima aliran dana dari pihak rekanan akibat mark up saat penyusunan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) melalui broker HLS," kata Baharudin.
Dalam penyelidikan diketahui anggaran pengerjaan pencetakan modul atau buku itu berasal dari APBNP Depdiknas tahun 2007 yang dibayarkan oleh KPPN secara transfer melalui rekening bank pemerintah kepada pihak pemenang lelang yakni PT TBS dan PT CCA. Di rekening PT TBS ditemukan transfer dana sebesar Rp 1.491.818.319 sedangkan di PT CCA sebesar Rp 1.423.803.217.

Totalnya Rp 2.167.903.217. "Negara dirugikan Rp747.718.319 karena KPPN awalnya memberikan Rp2.915.621.536 sesuai HPS yang dilakukan TS," ujar Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Ajie Indra Dwitama.
Seluruh rekening sudah diblokir pihak kepolisian. Namun, saat dicek polisi sama sekali tidak menemukan adanya dana yang tersisa.

"Kami temukan Rp 0,-. Sudah tidak bersisa," kata Ajie.
Kasus ini sendiri terungkap dari pelaporan salah satu peserta lelang dengan nomor LP: LP/205/K/III/2009/SPK Unit II tanggal 12 Maret 2009. Setelah itu, dilakukan audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Setelah diaudit ternyata ada selisih sekitar Rp700 jutaan," ujar Ajie. Sebagai pengembangan, petugas telah memeriksa sebanyak 23 saksi dari panitia lelang, rekanan, dan pihak bank terkait aliran dana.
"Polisi juga masih melakukan pendalaman guna menentukan keterlibatan tersangka lain dari kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia verivikasi barang, dan rekanan lain yang diduga terlibat," imbuhnya.

Sumber: Kompas.com